Penetapan Hari Pendidikan Nasional dilatarbelakangi oleh tokoh yang memiliki jasa luar biasa di dunia pendidikan yaitu Ki Hadjar Dewantara, yang lahir pada tanggal 2 Mei 1889. Peringatan Hardiknas tidak semata-mata untuk mengenang hari kelahiran Ki Hajar Dewantara selaku Bapak Perintis Pendidikan Nasional, tetapi lebih dari sebuah momentum untuk kembali menumbuhkan rasa patriotisme dan nasionalisme bagi seluruh insan pendidikan.
Pada tahun ini, Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) jatuh pada hari Minggu, 2 Mei 2021. Tema Hardiknas 2021 yang diambil oleh Kemendikbud adalah “Serentak Bergerak, Wujudkan Merdeka Belajar”.
Merdeka belajar memiliki makna memberikan kesempatan belajar secara bebas dan nyaman kepada siswa untuk belajar dengan tenang, santai dan gembira tanpa tekanan dengan memperhatikan bakat alami yang mereka punyai, tanpa memaksa mereka mempelajari atau menguasai suatu bidang pengetahuan di luar hobi dan kemampuan mereka. Dengan demikian masing-masing mereka tumbuh dan berkembang sesuai potensi dan kemampuannya. Memberi beban kepada anak di luar kemampuannya adalah tindakan yang tercela yang secara esensi berlawanan dengan semangat merdeka belajar. Hal ini tidak mungkin dilakukan oleh guru yang bijak. Ini tak ubahnya seperti siswa tuna netra lalu guru memintanya menceritakan keindahan pemandangan kepada teman-temannya. Bila kemerdekaan belajar terpenuhi maka akan tercipta “pembelajaran yang merdeka” dan sekolahnya disebut sekolah yang merdeka atau sekolah yang membebaskan. Perasaan nyaman ini harus diciptakan oleh seluruh komponen yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan, baik di sekolah, rumah, maupun masyarakat. (Herbert, 2019).
Ketika anak belajar dalam kondisi menyenangkan maka ditemukan dampak positif dalam berbagai aspek. Kondisi yang menyenangkan akan menimbulkan perasaan bahagia dalam diri anak. Perasaan bahagia secara psikologis menjadi landasan penting dalam membangun kecintaan pada belajar dan mewujudkan ketahanan belajar. Anak yang bahagia cenderung mau mempelajari semua materi yang ada dan mampu belajar dalam jangka waktu yang relatif lebih lama. Anak tidak merasa cepat bosan dan tidak mudah berputus asa ketika menghadapi materi yang menantang. Ide-ide akan mengalir deras sehingga tercipta kreativitas. Proses belajar yang dijalani dengan cara menyenangkan memungkinkan siswa mampu mengingat materi lebih banyak dan lebih lama, dengan kata lain tingkat retensinya lebih kuat. Dalam pandangan Ki Hajar Dewantara, merdeka belajar pada gilirannya menghasilkan kreativitas yang merupakan elemen penting bagi sebuah kemajuan. Lalu apa implikasinya bagi guru, orang tua, atau para pelaku pendidikan dalam mewujudkan merdeka belajar? Mereka berfungsi sebagai fasilitator yang harus menciptakan kondisi menyenangkan bagi belajar siswa. Hal ini dilakukan melalui pendekatan personal, penggunaan metode, dan media pembelajaran yang dapat mewujudkan kegiatan belajar menyenangkan dan terbebas dari perasan tertekan. (Kusnohadi: 2020).
Hal ini sejalan dengan filsafat pendidikan Ki Hadjar Dewantara disebut filsafat pendidikan among yang di dalamnya merupakan konvergensi dari filsafat progresivisme tentang kemampuan kodrati anak didik untuk mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi dengan memberikan kebebasan berpikir seluas-luasnya. Menurut Priyo Dwiarso, siswa harus memiliki jiwa merdeka, dalam arti merdeka lahir, batin serta tenaganya. Jiwa merdeka ini sangat diperlukan sepanjang zaman agar bangsa Indonesia tidak didikte negara lain. Jika ada peserta didik yang memiliki nilai academik rendah, misalnya, tidak lantas dilabeli dengan istilah bodoh, karena bisa jadi ia tidak memahami atau mungkin tidak tertarik pada pembelajaran tertentu. Namun, memiliki minat yang tinggi terhadap pelajaran yang lain. Sistem among melarang adanya hukuman dan paksaan kepada anak didik karena akan mematikan jiwa merdekanya, mematikan kreativitasnya (Dwiarso: 2010).
Konsep jiwa merdeka ini selaras dengan filsafat progresivisme terhadap kebebasan untuk berpikir bagi anak didik, karena merupakan motor penggerak dalam usahanya untuk mengalami kemajuan secara progresif. Anak didik diberikan kebebasan berpikir guna mengembangkan bakat, kreatifitas dan kemampuan yang ada dalam dirinya agar tidak terhambat oleh orang lain. (Henricus: 2015)
Untuk mewujudkan cita-cita K.H. Dewantara tersebut, Mendikbud telah meluncurkan empat kebijakan baru dalam merdeka belajar diantaranya pertama, ujian sekolah berstandar nasional digantikan dengan assesmen yang diadakan pihak sekolah, sehingga guru memiliki kebebasan dalam menilai siswa. Kedua, ujian nasional diubah menjadi assesmen kompetisi minimun survei meliputi (karakter, numerasi dan literasi). Ketiga, penyederhanaan sistem RPP, sehingga guru lebih fokus kepada siswa. Keempat, penerimaan peserta didik baru (PPDB), sistem zonasi diperluas sehingga memeratakan akses pendidikan (Kemendikbud: 2019). Kebijakan tersebut sejalan dengan apa yang menjadi cita-cita Ki Hadjar Dewantara yakni dalam pendidikan mempertimbangkan keseimbangan cipta, rasa dan karsa. Sebelumnya ujian nasional selalu menjadi rasa khawatir oleh para siswa, guru maupun orang tua karena jika tidak bisa mengerjakan ujian nasional maka terancam tidak lulus sekolah, sehingga bermunculan kunci jawaban yang dijual dengan berbagai macam harga lengkap dengan kode soal.
Dalam kebijakan terbaru, merdeka belajar siswa dan guru tidak lagi disibukkan dengan persiapan menghadapi ujian nasional, namun sekolah dapat membuat penilaian terhadap siswa sesuai dengan ketentuan. Penilaian tersebut pertama berupa survei karakter yang meliputi pengetahuan kebhinekaan, gotong royong, siswa akan termotivasi untuk bersikap peduli terhadap lingkungan sekitarnya maupun mengamalkan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, survei literasi berupa cara bernalar dan menggunakan bahasa, hal ini mendorong siswa dalam bernalar dan pemahaman menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Ketiga, survei numerasi berupa pemahaman matematika, siswa di dorong untuk berpikir kritis dalam pemecahan masalah. Sikap-sikap tersebut relevan dengan pemikiran Ki Hadjar Dewantara mengenai Tripusat pendidikan yang diterima oleh peserta didik terjadi dalam tiga ruang lingkup, yakni: lingkungan keluarga, lingkungan perguruan, dan lingkungan masyarakat. Ketiga lingkungan tersebut memiliki pengaruh edukatif dalam pembentukan kepribadian peserta didik.
Sebelum mengembangkan penilaian berdasarkan survei karakter, literasi, dan numerasi, maka peran guru sangatlah penting. Sekolah dan guru harus mendidik karakter, khususnya melalui pengajaran yang dapat mengembangkan rasa hormat dan tanggung jawab (Lickona: 1991). Menurut Ki Hadjar Dewantara, seorang pendidik juga diharapkan mampu mendidik peserta didik dengan memegang semboyan dari Ki Hadjar Dewantara yakni, ing ngarsa sung tuladha (dimuka memberi contoh), ing madya mangun karsa (di tengah membangun cita-cita), tut wuri handayani (mengikuti dan mendukungnya) (Haidar Musyafa: 2015). Semboyan Ki Hadjar Dewantara tersebut dapat menjadi nilai yang harus di amalkan seorang pendidik dalam mendidik siswanya, sehingga pendidik dalam mengajar dapat mengembangkan sistem among, yaitu mendidik dengan berjiwa kekeluargaan bersendikan kodrat dan kemerdekaan.
Daftar Rujukan
Dela Khoirul Ainia-Jurnal Filsafat Indonesia, Vol 3 No 3 Tahun 2020 ISSN: E-ISSN 2620-7982, P-ISSN: 2620-7990
Dwiarso, Priyo, 2010, Napak Tilas Ajaran Ki Hadjar Dewantara, Majelis Luhur Pesatuan,Yogyakarta.
Haidar Musyafa. (2015). “Sang Guru”. Novel Ki Hajar Dewantara, Kehidupan, Pemikiran, Perjuangan Pendirian Taman Siswa, 1889-1959.Yogyakarta: M. Kahfi.
Herbert, Frank. 2019. Merdeka Belajar. online. Tersedia: https://www.kom-pasiana.com/syekhmuhammad/5df20d25d541df6ca8471992/merdeka-belajar-atau-belajar-merdeka?page=all
Henricus Suparlan-Jurnal Filsafat, Vol. 25, No. 1, Februari 2015
Kusnohadi, Widyaiswara LPMP Jawa Timur:2020
Lickona, T. (1991). Educating for Character. Bantam Books.